Sinopsis Novel Rumah Lebah




Pada bulan Mei 25 kilometer dari Ponorogo tahun lalu Winaya mengajak Nawai dan anaknya Mala pindah ke sebuah desa kecil yang suasananya sangat bertolak belakang dengan Jakarta, kota tempat mereka tinggal sebelumnya. Meskipun desa itu ada di provinsi Jawa Timur, akses bandara terdekat adalah Adisumarmo, Solo. Winaya membeli rumah di sebuah bukit kecil yang letaknya cukup strategis untuk menikmati danau alam di bawahnya. Rumah itu sangat mungil dengan jendela- jendela kaca, teras kecil dengan kursi- kursi malas yang sengaja dihadapkan kea rah danau.

    Winaya dan Nawai dulu menggunakan rumah itu untuk istirahat saat liburan dating, namun kali ini Winaya memboyong Nawai dan Mala untuk menetap disana. Sebelum mereka pindah,Winaya telah merenovasi dan membangun ruang baru. Ada bagian dari rumah ini yang tidak bias menerima sinyal telepon seluler yaitu ruang kerja Winaya dan ruang kosong yang Nawai gunakan untuk menyimpan semua buku Mala dan mainannya. Ruang itu lebih mirip perpustakaan kecil. Buku – bukunya lebih didominasi bacaan- bacaan orang dewasa. Sejak Mala bias membaca, dia telah melahap habis bacaan – bacaan itu dan memahaminya dengan begitu mudah. Novel- novel Stephen King sudah habis dibacanya saat Mala berumur lima tahun. Dan saat enam tahun Mala sangat terobsesi dengan ensiklopedia. Dia hanya membaca buku- buku itu dan selalu mengurutkan buku satu sampai buku terakhir dari sisi kiri ke sisi kanan. Setelah itu Mala tertarik dengan beruang. Winnie the Pooh adalah kesayangannya.
    Hal unik dari rumah ini mempunyai ruang bawah tanah lumayan besar yang membujur di bawah ruang kerja Winaya sampai perpustakaan Mala. Nawai menyulap ruang bawah tanah itu menjadi studio cantik, untuk sedikit mengurangi rasa seram jika berada sendirian di ruang ini. Penerangannya Nawai buat sedemikian artistic dan suara music tak pernah mati mengalun membentur – bentur dindingnya yang dipoles dengan warna ungu terang.
    Rumah ini berdiri di daerah yang sangat sepi. Hamper tak ada tetangga di dekat sini. Rumah paling dekat adalah sebuah vila yang hanya digunakan sesekali saat liburan. Rumah itu berada tepat di atas Rumah Nawai. Vila itu milik Rayhan, seorang pengusaha Bandung yang cukup sukses. Hamper tiap tiga bulan sekali dia berlibur di vila itu dengan ditemani perempuan yang selalu berbeda. Reputasinya sebagai seorang pengusaha boleh dibilang sukses, begitu juga sebagai petualang cinta. Namanya sering menghiasi infotainment karena dia terkenal gonta – ganti pacar yang kebetulan seorang artis atau model.
    Sekarang Winaya bukan seorang wartawan lagi. Winaya sudah memutuskan untuk meninggalkan profesi itu dan beralih ke bidang yang sebenarnya tidak jauh – jauh amat dengan profesi dulunya. Winaya kini seorang penulis. Keputusan itu diambil saat dia menerbitkan novel pertamanya dan dalam waktu sebulan telah menjadi best seller.
    Mala sangat suka rumah ini. Disini Mala tak perlu sekolah, tapi bias belajar sesukanya. Ayanhnya bilang Mala tak bias belajar di sekolah biasa, karena dia berbeda. Winaya dan Nawai memilih mengajar sendiri daripada memasukkan Mala ke sekolah khusus. Mala setuju dengan orangtuanya karena Mala suka disini. Namun, yang paling penting adalah Mala tak akan bertemu dengan Satira lagi selama Mala tak masuk ruang bawah tanah itu.
    Satira adalah perempuan berumur 11 tahun dan akan tetap berumur 11 tahun meski nanti Mala berunur 30 tahun. Hal itu sama dengan kebencian yang takkan pernah hilang di hatinya. Abadi. Wilis sangat takut pada Satira namun dia tahu cara menghindar darinya. Wilis lebih kuat dari Satira, namun bocah jahat itu sangat ahli mengendalikan Wilis. Barangkali, meski badab Wilis kuat, jiwanya sekecil kedelai Menggertak dan mengancam itu senjata Satira. Bocah jahat itu takut ketinggian dan cahaya.
    Wilis adalah teman bermain Mala. Dia adalah mahkluk hijau manis dan juga menyukai beruang karena dia percaya kekuatannya sama dengan beruang coklat. Dia tidak pernah menyakiti Mala karena dia adalah penjaga anak- anak dank arena itulah dia tak bias membenci Satira karena Satira masih anak – anak.
    Menurut Martha, Mala adalah anak yang mempunyai kelainan. Martha menyebutnya anak Indigo. Anak- anak indigo tidak berpikir atau bertingkah seperti anak – anak lain. Lebih tepatnya mereka bersikap, berpikir dengan cara yang lain, dengan cara yang bahkan tidak kita pahami. Meski mereka mempunyai fisik sama, tapi anak indigo jiwa mereka tumbuh pesat setiap detik berbarengan dengan perasaan mereka yang begitu sensitive. Mereka biasanya punya kecerdasan di atas rata- rata.
    Wilis, Satira, bersama yang lainnya tinggal di sebuah rumah lebah di atas pohon besar yang daun – daunnya berwarna ungu. Kulit pohon itu transparan seperti gel dan di dalam batangnya yang  kokoh mengalir tak henti – henti cairan berwarna keemasan. Rumah lebah itu hanya mempunyai lima bilik besar yang terpisah dengan jalan labirin rumit berbentuksegienam yang banyak sekali. Lima bilik itu ditinggali Wilis, Satira, Abuela, Tante Ana, dan sepasang kembar pencatat hal – hal baik dan hal – hal buruk. Wilis sangat tahu keberadaan yang lainnya, namun sebaliknya yang lainnya tak menyadari keberadaan satu sama lain.
    Abuela rutin mengunjungu Mala untuk memberikan Mala pelajaran. Dia adalah nenek tua yang galak, namun baik. Dia mengajari saya semua hal tentang kesopanan dan kebersihan. Dia berbicara dengan bahasa Spanyol, sama seperti boneka Mala. Dia tak suka jika urutan ensiklopedia Mala tidak tersusun dengan semestinya. Alegra bien, limpia bien, itu kata – kata yang diberikan kepada Mala berulang – ulang.  Sayangnya, orangtua Mala ttidak bias melihat mereka. Mereka sangat nyata, bias disentuh, bias diajak ngobrol, bahkan ada yang bias menyakiti Mala. Nawai selalu menganggap mereka hantu. Tak ada hantu yang masih mempunyai daging. Wilis bilang, ibu Mala terlalu cepat ngantuk dan tidak bias melihat mereka. Nwai memang punya penyakit darah rendah sehingga dia cepat lelah bahkan tertidur.
    Winaya sudah membuat sebuah novel dan novel itu laris manis hingga 200.000 eksemplar dan bahkan salah satu PH terkenal akan memfilmkan novel Winaya oleh artis yang sedang naik daun. Alegra Kahlo. Seorang perempuan cantik yang masih mempunyai darah latin. Ibunya keturunan Argentina dan ayahnya asli Jawa. Orangtuanya sudah bercerai sejak dia berumur 12 tahun, semenjak itu dia tak pernah bertemu lagi dengan ibunya yang telah kembali ke Negara asalnya tanpa membawa serta. Alegra kahlo adalah artis buruan Deni. Seorang wartawan majalah Zensual yang suka memeras artis.
     Rasa penasaran dan obsesi akan Alegra membawa Deni ke danau ini. Dia telah menyewa penginapan murah di pinggir danau umtuk memata – matai Alegra. Hendro adalah anak seorang psikolog yang baru saja meninggal. Saat hendro sibuk mencari barang – barang ayahnya yang bias dijualnya, dia menemukan dokumen penting, sebuah rekam medis alegra kahlo. File itu berarti untuk Deni. Isi file itu adalah bukti bahwa selama ini kecurigaan Deni benar. Alegra Kahlo memang punya penyakit Bulimia.
    Malam itu Alegra mengundang keluarga Winaya makan malam di vila Rayhan untuk berdiskusi tentang film yang akan diperankannya. Nawai terlihat lebih muda dari umurnya. Nawai menjabat tangan Rayhan yang kemudian disambut oleh Rayhan dengan hangat. Terlalu hangat malah. Nawai merasa punggung tangannya dielus dengan lembut. Nawai tidak menyukainya dan cepat- cepat menarik tangannya. Dia berharap suaminya tak melihat ketidakenakannya tadi. Namun Mala melihatnya dan matanya segera berubah menjadi gelap.
    Ketika kulkas mulai kosong dan persediaan sembako hamper habis, itulah waktunya bagi Nawi pergi ke kota. Saat berbelanja dan menunggu pak Min, tiba – tiba tangan Nawai disentuh dari belakang. Nawai kaget dan segera menoleh. Rayhan. Rayhan menatap Nawai lekat. Nawai merasa risih dengan tatapan itu. Tiba – tiba wajah Rayhan mengeras. Dia terlihat gemas             dengan sesuatu namun berusaha ditahannya. Rayhan hanya senang dengan artis atau model yang baru saja menapaki puncak karier, dan saat kegemilangannya surut Rayhan akan membuang mereka. Sebenarnya Rayhan lebih memuja kesempurnaan. Seorang wanita akan merasa benar – benar sempurna saat dia bias mengendalikan hidupnya. Saat wanita masih dalam garis pengendalian maka dia tak akan pernah jatuh. Sekali dia jatuh maka dia kan kehilangan kesempurnaannya.
    Perempuan itu bukan dari golongan yang ini. Dan dia sempurna. Dia tahu bagaimana harus bersikap. Dia seperti hidup untuk hari ini hingga tawanya terdengar indah seperti dia tak akan tertawa lagi esok, dia tersenyum dengan sempurna seperti tak akan tersenyum lagi esok. Rayhan pernah menyecap perempuan itu meski hanya dalam sekejap mata saja. Laki-laki itu yakin Nawai adalah perempuan yang sama dengan perempuan itu meski dia berusaha mati- matian mengingkarinya.
    Alegra baru saja menandatangani kontrak film yang semua sudah dibacanya. Tahun ini dia kan mengeruk banyak keuntungan dari film yang dipastikan sukses di pasaran. Satu hal yang masih membuatrisau Alegra adalah polah wartawan keparat itu yang berusaha memerasnya. Dia harus berusaha menemukan satu cara agar dapat membungkamnya dan memastikan bahwa wartawan itu sudah menghapus file foto-foto itu.
    Beberapa hari ini Nawai merasa lebih cepat kecapaian dan mudah gugup. Seakan – akan dia baru saja kerja berat padahal kenyataannya dia tidak melakukan apa – apa. Dia berpikir bahwa gejala anemianya sudah bukan lagi menjadi gejala namun lebih parah lagi. Dia sering tertidur dan lupa member Mala mata pelajaran yang seharusnya diberikannya setiap hari. Dokter yang memeriksa Nawai berkata bahwa keaadaan Nawai baik-baik saja. Anemianya masih dalam taraf gejala. Saat pulang Nawai mampir ke bank untuk mengambil uang. Perasaannya gugup ketika menerima uang daripetugas bank. Dia merasa harus cepat – cepat meminum obat dari dokter yang didatanginya barusan.        
    Deni memandang seluruh foto-foto yang tersebar di ranjangnya dengan senyum puas. Perlahan dia membuka matanya dan bergerak menuju ranjang. Dia memisahkan foto – foto itu dan memasukannya ke dalam dua amplop coklat besar. Dia menuliskan sesuatu di kedua amplop itu. Tiba – tiba dia mengambil selembar foto, memandangnya dengan tatapan mata licik. Dia memasukkan foto itu ke amplop lain. Sebuah amplop disimpannya di bawah kasur dan sisanya dimasukkan ke dalam tasnya. Sebuah senter dia nyalakan lalu matikan untuk memeriksa apa lampunya masih bagus, kemudian juga dimasukkan ke dalam tas. Deni seperti bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat yang gelap. Dia menatap jam di pergelangan tangan dan tersenyum.

    Alegra memandang tas kecil di lemarinya. Tas itu berisi uang satu milyar yang dijanjikannya untuk wartawan keparat itu. Malam semakin merambat dengan cepat. Dia menimang-nimang Hp-nya dengan ragu.
    Deni mengancingkan jaketnya saat melintas jalan setapak menuju hutan dekat danau. Hutan itu mempunyai jenis pohon yang berbeda dengan hutan lainnya di daerah ini. Pohonnya berakar besar dan timbul di permukaan tanah. Bahunya tampak bergetar,entah dia sedang kedinginan atau gugup. Deni tersenyum. Perempuan itu tepat waktu.

    Perempuan itu membuka resleting tasnya dan memperlihatkan isinya kepada Deni. Laki-laki itu bersiul kecil kemudian membuka tas ranselnya. Dia melemparkan amplop besar coklat pada perempuan itu lalu dengan hati – hati mengeluarkan laptopnya. Perempuan itu tergesa-gesa membuka amplop itu dan memeriksa isinya. Perempuan itu menyerahkan tasnya bersamaan dengan laptop itu diserahkan padanya. Deni langsung mengambil tas itu dengan serakah. Dia memastikan bahwa tas itu benar-benar uang kertas yang diinginkannya. Perempuan itu juga bergerak cepat. Tangannya menekan tombol delete dan memeriksa seluruh file laptop itu jika saja laki-laki itu masih menyembunyikan foto-foto yang lain. Deni mencium satu gepok uang yang telah dipastikan bahwa uang itu asli. Perempuan ini tak punya akal banyak untuk menipunya.

    Belum sempat Deni menerima laptop itu tiba-tiba perempuan itu mengayunkan laptop itu kea rah kepalanya. Deni terhuyung ke belakang. Dia tidak melihat batu sebesar kepalan tangan di belakangnya. Deni menginjaknya dan tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Kakinya tergelincir dan dia tersentak jatuh ke belakang. Dia merasa kepala bagian belakangnya nyeri. Saat tangannya merabanya, dia merasakan cairan hangat mengalir. Perempuan itu tercekat dengan keadaan yang tak diduganya. Tas itu masih dalam genggaman Deni. Pelan –pelan dia mendekati Deni yang masih mengerang kesakitan. Tangannya terjulur hendak merebut tas itu, namun dicekal oleh Deni. Perempuan itu terkejut dan secara reflex memberikan pukulan ke muka Deni dengan laptop yang masih di pegang. Perempuan itu cepat-cepat meraih tas dan amplop itu. Dia bergerak menjauhi Deni. Deni mengulurkan tangannya seraya ingin mencegah kepergian perempuan itu. Namun kegelapan menghilangkan sosoknya.

    Sesosok mayat gembung dan mengapung di danau. Mayat seorang laki-laki dengan kepala pecah. Seseorang berusaha menenggelamkannya agar mayatnya tak ditemukan. Danau ini tak pernah mengmbalikan mayat yang telah diisapnya ke dalam dasarnya yang misterius. Namun untuk suatu alas an yang tak kalah misteriusnya, danau ini menegembalikan mayat ini ke permukaan. Secerdik apapun seorang pembunuh menyembunyikan korbannya pada akhirnya mayat itu akan ditemukan dalam waktu yang cepat atau lambat.
    Kartika memerhatikan mayat yang sudah di bawa ke tepian. Seorang pemancing menemukannya dan segera melapor ke kantor polisi. Belum ada orang yang dating ke tempat itu, artinyabelum banyak orang tahu mengenai mayat laki-laki itu. Kartika dan Sarwono telah tiba di hotel murah dekat danau. Mereka mendapat informasi bahwa mayat itu dulunya menginap di hotel ini. Pemilik hotel itu mengantarkan mereka ke sebuah kamar. Dia membuka kamar dengan kunci cadangan. Sarwono mengambil beberapa foto dan ikut memeriksanya. Kartika membuka map dan menemukan surat-surat dan membacanya dengan hati –hati. Rupanya surat itu adalah rekam medis psikologis Alegra. Sarwono memandang Kartika seraya tersenyum. Tampaknya kasus ini mulai ada titik terang. Jauh di lubuk hatinya Kartika semakin mempercayai intuisinya bahwa kasus ini akan memberikan banyak kejutan baginya.
***
    Pagi tiu Nawai sarapan nasi goring dan seafood yang sangat lezat. Setelah membereskan sarapan pagi, Nawai pergi ke studio. Dia menuruni tangga, saat sampai di bawah dia menjerit sekencang-kencangnya. Winaya berada tepat di atasnya terpogoh-pogoh membuka pintu ruang bawah tanah dari ruang kerjanya. Lukisan Nawai ditumpuk dengan gambar lain. Seseorang telah melukis gambar lain di atas lukisan Nawai. Gambar itu adalah gambar seorang anak perempuan berambut kusut memakai baju terusan berwarna ungu lusuh. Matanya terlihat marah meski bibirnya menginggung senyum. Kakiknya telanjang tanpa alas kaki. Pencahayaan gambar itu sama dengan gambar wanita tua berwajah tirus itu. Nawai ketakukan dengan semua ini.
    Pada saat Nawai menjerit di studionya, Kartika sedang asyik memerhatikan foto-foto yang dia pasang di dinding kantornya. Sampai saat ini dia tidak punya petunjuk baru, satu-satunya orang yang dicurigai adalah Alegra. Semua petunjuk yang dia dapatkan mengarah pada Alegra meski belum bias dibilang bukti. Tidak ada saksi sama sekali. Kalaupun Alegra membunuh Deni karena pemerasan, seharusnya foto-foto itu ada di tangan Alegra. Bagaimana dengan Rayhan? Laki-laki itu bias saja mengrtahui pemerasan itu lalu membunuh Deni diam-diam tanpa sepenga\etahuan Alegra. Semuanya bias dilakukan atas dasar cinta. Apalagi Rayhan pernah dituduh terlibat kematian salah satu wartawan Fakta beberapa tahun lalu meski sampai sekarang belum ada bukti.
    Kartika melayangkan tatapannya ke foto Alegra dan Rayham dengan posisi berpelukan. Ada sesuatu yang ganjil dalam foto itu namun dia tak tahu apa. Entah berapa lama Kartika mengamati foto – foto itu. Namun jika kasus ini ada hubungannya dengan Rayhan maka Kartika harus bertindak dengan cermat. Laki-laki itu sangat licin. Laki-laki itu di duga terlibat dalam baerbagai kasus kejahatan namun tak pernah ada pembuktian akan kejahatannya. Dia seakan-akan tak bias terjamah oleh hokum.
***
    Nawai meletakan tumpukkan baju yang sudah disetrika ke dalam lemari. Nawai meluncur ke studio tanpa semangat.  Dia membuka pintu dan menyalakan lampu. Langkahnya tiba-tiba tertahan saat sampai di lantai dasar. Matanya kembali terbelalak. Sebuah lukisan lain muncul dihadapannya. Sekarang yang terlukis di sana adalah gambaran seorang laki-laki dengan rambut ganil, seperti sulur-sulur ganggang laut. Seluruh tubuhnya berwarna hijau lumut. Bola matanya berwarna zamrud, kuku-kunya panjang hijau gelap. Dia tak mengenakkan baju sehelapun pada tubuhnya yang berotot. Dalam matanya yang bersinar sayu tersimpan kekuatan luar biasa. Nawai tiba-tibaa tak bias bernapas dan ambruk. Tak jua dia menemukan jawaban hingga dia pingsan.
    Kepala Nawai terasa berat, dia berusaha bangun. Tak ada gunanya menjerit, suaminya takkan percaya seperti sebelumnya saat lukisan anak kecil itu muncul. Ada sesuatu atau seseorang yang ingin menunjukkan suatu rahasia kepada Nawai. Rahasia keberadaan orang-orang itu bahwa mereka ada, bahwa mereka nyata. Nawai terngiang-ngiang kata-kata Mala.
“Yang harus Mama lakukan bukan berusaha untuk melihat namun mendengar dan terjaga. Jika Mama bias melakukannya, Mama akan melihat banyak keajaiban.”
    Nawai  menjelajahi studio dengan langkah terseok. Nawai yakin ada anak kecil bersembunyi disini, diantara lukisan-lukisannya. Dibalik lukisan perempuan tua yang Nawai pasang di tonggak penopang itu ada sepasang kaki mungil telanjang tanpa alas. Siapa dia?
Pelan-pelan Nawai melangkah mendekati lukisan itu. Sepasang kaki itu tak bergerak. Jaraknya tinggal beberapa lamgkah lagi dari lukisan itu. Nawai bias melihat sisi bahu kanan dan tangannya yang mungil. Rambutnya panjang. Mala tak punya rambut sepanjang itu. Saat Nawai akan melangkah lagi tiba-tiba pundaknya dicekal dari belaknag. Kekuatan tangan itu luar biasa. Nawai terkejut. Saat mengembalikan tubuh, mata Nawai mengabur dan jatuh pingsan. Hal terakhir yang Nawai lihat ada sosok berselimut kabut hijau. Nawai berusaha menjerit, entah berhasil atau tidak.

    Mala mendengar jeritan ibunya saat sedang membaca ensiklopedia di perpustakaan. Tapi Mala tak berani kesana. Saat Nawai sudah merasa sehat, sore harinya lukisan laki-laki hijau itu Nawai bawa ke atas, kepada Mala. “Apakah dia Wilis?”. Mala memandang lukisan itu tanpa kedip, Dia tak berkata apa-apa. Hanya saja matanya berubah menjadi sesuatu yang belum pernah dilihatnya.
***
    Jarring laba-laba maya. Begitu banyak bias dicari disini. Semuanya tergantung bagaimana cara mencarinya. Mala menyukai jarring laba-laba ini karena dia dapat memberitahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Mala. Tak aka nada yang akan memisahkan kelurga mereka. Jarring laba-laba itu tahu bagimana mempersatukan keluarga mereka dan Mala sedang mempersiapkan semuanya. Jaring-jaring laba-laba maya, ensiklopedia, tanaman ajaib : castor bean, tembakau alat lintingan rokok, mereka adalah kaki tangan Mala yang akan menyumpal kesediahan keluarga ini.
***
    Hari ini tangan Nawai berubah menjadi licin. Lima buah piring telah dipecahkan dan sebuah vas Nawai senggol dengan pantatnya. Pecahnya piring-piring itu membuat pikiran Nawai kacau. Seekor lebah mengusik perhatian Nawi. Dia terjebak di kaca jendela dan terus berdengung di sana. Sepertinya dia terbang kea lam bebas, padahal tidak. Tiba-tiba dia terbang kea rah Nawai. Nawai mundur namun tak bias bergerak kembali. Tubuhnya terdesak pada bak cuci piring. Dia berdengung tepat di depan wajah Nawai. Nawai bias melihat matanya yang sebesar titik. Dia bergerka menuju hidung Nawai. Dia hinggap hanya 5 detik setelah itu terbang menjauh menuju pintu dapur yang terbuka.
    Kartika mempersilakan duduk perempuan yang sedang gemetar di depannya. Suaminya menunggu di luar meski sejak tadi dia bersikeras ingin mendampingi istrinya. Kartika memata-matai vila itu selamalima hari dan mendapatkan banyak bukti perselingkuhan Rayhan dengan perempuan ini. Perempuan yang ada di vila Rayhan begitu binal, penampilannya sangat berbeda dengan perempuan yang sedang duduk di depannya dengan kepala tunduk. Cara berjalannya juga berbeda. Nawai, perempuan ini yang dilihatnya di vila itu berjalab dengan langkah lebar namun pelan. Model rambutnya juga berbeda karena dia menggunakan wig saat di vila itu. Dia pasti lebih hebat daripada Alegra dalam berpura-pura. Kartika tersenyum tipis.
    Kartika mengeluarkan sebuah amplop dan menebarkan isinya di depan Nawai. Nawai memandangi satu per satu foto itu. Matanya membelalak. Dia bingung setengah mati. Perempuan di foto itu memang dirinya tapi dengan dandanan sangat berbeda. Pose dirinya dalam foto itu membuat Nawai gusar dan mual. Bagimana mungkin bias seperti ini, sedangkan beberapa terkhir ini Nawai selalu ada di rumah, bahkan kondisi tubuhnya sedang menurun.
“Apakah sekarang Anda masih ingin mengelak?”
    Kartika menggeleng-gelengkan kepalanya. Perempuan ini cukup keras kepala juga. Meski segepok bukti itu disodorkan kemukanya, dia tetap teguh dengan pernyataannya bahwa dia tiak berselingkuh dengan Rayhan. Kartika mengambil air putih gallon di ujung lorong. Rasa segar menyusupi kerongkongannya. Terdengar suara langkah kaki cepat menghampirinya. Suami perempuan itu sudah ada di dekatnya dengan wajah geram. Kartika kemudian menceritakan semua tentang foto-foto itu dan kecurigaan polisi yang barangkali saja ada hubungannya dengan kematian wartawan itu.
   
    Winaya hendak memeluk Nawai, namun diluar dugaan Nawai mengibaskannya seraya berteriak, “Dejame, Cabron!” (Lepaskan aku Bajingan!). Suara Nawai terdengar serak dan begitu tua. Winaya tak mengerti apa yang Nawai katakan. Tiba-tiba dari belakang Mala menyeruak dan langsung berdiri di depan Nawai.
“Abuela, tranquila.” (Nenek, tenanglah)
“Oh Nina. Que pasa? Porque estoy aqui?” (Oh nak, apa yang terjadi? Kenapa saya ada disini?)
“No pasa nada. Solo problema pequena. Mi padre esta aqui y todo sera bien. Vaya Abuela. Puede ensenarme manana. Vale.” (Tidak apa-apa. Hanya masalah kecil. Ayah saya ada disini dan semuanya akan baik-baik saja. Pergilah nek. Anda bias mengajarku besok)
    Lalu Nawai terdiam dan terduduk lemas di kursinya kembali. Semua orang disitu tercengan. Kartika menatap Mala tak berkedip. Belum usai keterkjutan mereka, Nawai sudah duduk dalam posisi tegak.
“Maaf saya tadi ketiduran,” katanya. Matanya berubah menjadi heran saat menyadari banyak orang mengerumuninya. Kartika menatap laki-laki di depannya yang kelihatannya sangat terguncang. Dia pasti juga sudah melihat foto-foto di meja itu. Kartika sebenarnya tidak menginginkan hal ini terjadi, paling tidak sebelum Nawai mengaku.
    Kartika meminta bantuan pada Samuel Priyatna, biasa dipanggil Sam. Dia adalah teman SMA Kartika dulu.
    Ini bukan kali pertama Kartika meminta bantuan pada Sam. Kartika kerap memanggil Sam untuk menguji kejiwaan para tersangka yang ditangkapnya. Setelah memasuki ruangan, mereka berdua segera terlibat pembicaraan serius. Kartika menceritakan kasus yang sedang ditanganinya kepada Sam. Mata laki-laki itu berubah menjadi serius. Sam melihat ke luar jendela. Winaya membukakan pintu untuk istrinya yang terlihat kuyu. Matanya sembab dan gerakannya melamban. Seorang anak kecil dengan wajah baku telah keluar dari jok belakang. Dia segera mengekor kedua orangtuanya yang berjalan duluan. Sam manggut-manggut sambil terus menatap lekat pada Nawai. Seperti tahu kalau dirinya diawasi, Nawai menoleh dan pandangannya bersirborok dengan Sam.
    Di ruang pemeriksaan, Sam memeriksa Nawai. Nawai kira mereka berbicara selama 10 menit, saat melihat jam Nawai tercengang karena sudah 2 jam dia bicara dengan Sam. Padahal hanya ada Nawai dan Sam di ruangan itu. Lalu siapa yang berbicara selama itu?
Sam bilang selam satu jam setengah yang lalu dia berbicara  dengan Ana Manaya yang menghabiskan setengah pak rokok. Untuk menemukan bukti lain, Sam menyuruh Nawai untuk menemukan orang-orang yang dilihat Mala. Awalnya selalu susah. Nawai selalu ketiduran.
    Saat Nawai mencoba untuk kesekian kalinya, dia mulai menemukan rumah lebah yang bentuknya aneh. Dia seperti bermimpi. Pada saat itulah Sam berbicara kembali dengan Ana Manaya. Tapi saat Ana Manaya akan menceritakan kasus pembunuhan Deni , tiba-tiba  disusul suara teriakan-teriakan. Suara itu lebih mirip anak kecil. Dia berteriak kesetanan. Kadang dia menggeram-geram. Lalu mereka pergi. Saat pemeriksaan Sam menggunakan tape recorder untuk merekamnya. Nawai lalu mengklik play pada tape itu. Nawai termenung dengan semua yang telah di dengarnya. Pria itumenyuruh Nawai untuk meminum air yang diambilnya. “Siapa perempuan dan anak kecil itu?”
    Sebenarnya  Ana dan Satira berada dalam diri Nawai. Ana Manaya adalah seorang perempuan atraktif, suka bicara, dan sangat bebas. Sedang Satira adalah anak kecil penuh amarah dendam dan kebencian. Mereka adalah kepribadian lain. Sam belum memastikan kenapa terjadi pecahan kepribadian dalam diri Nawai. Sam belum tahu ada berapa kepribadian lain dal;am diri Nawai. Salah satu dari mereka mungkin tahu tentang pembunuhan itu.
***
    Sam memegnag dua es krim di kedua tanganya. Dia melihat Mala sedang duduk mematung di bangku sembari memeluk boneka beruan. Sam menghampirinya dan menanyakan siapa saja yang Mala lihat selain Wilis. Mala menceritakan tentang Wilis, Abuela, Satira, dan si kembar. Sam terpekur, dia menatap wajah gadis cilik itu. Tak bias dia bayangkan berapa lama dia menanggung beban atas gangguan yang terjadi pada Nawai. Sam bertanya – Tanya seberapa besar kerusakannya? Mala adalah anak yang dingin tanpa ekspresi. Sam tak bias menembus apapun yang ada di balik wajah beku itu.
    Mereka memeriksa Nawai kembali di ruang pemeriksaan. Mereka tidak membersihkan asbak penuh punting rokok yang menggunung. Nawai terbatuk-batuk. Semua punting rokok itu sama. Orang itu pastilah perokok berat. Pria itu, Sam masuk dengan mengepit buku catatannya. Di tangannya dia membawa tape recorder kecil dan satu pak rokok. Mereknya berbeda dengan rokok di asbak. Dia meletakkan tape dan rokok di meja sebelumnya dia mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di bibir. Anehnya dia tak kunjung menyalakannya. Sam itu Adsurd.
    Sam menceritakan alter-alter lain dalam diri Nawai berkat bantuan Mala. Sampai sekarang Sam sudah menemukan empat nama: Ana Manaya, Satira, Wilis dan Abuela. Abuela adalah guru spanyol Mala. Mereka menyebut Nawai Ratu Lebah. Masih ada si kembar tapi Mala hanya mendengar keberadaan mereka dari Wilis. Mereka bisu. Mereka mencatat semua kebenaran dalam buku mereka. Tugas mereka adalah menunjukkan kebenaran.
“Temukan rumah lebah itu kembali dan masuklah kesana. Disana si kembar tinggal. Jangan takut dengan yang lainnya. Buku catatan itu adalah petunuk penting tentang pembunuhan itu. Masuklah dan bacakan untukku.”
    Nawai mencoba masuk ke rumah lebah itu, dia menciptakan rasa pusing dan pasrah. Barulah dia bias masuk ke rumah lebah. Di rumah lebah Nawai menemukan tempat Abuela. Nawai adalah Ratu Lebah jadi dia tahu tempat – tempat di rumah itu. Tak lama kemudian Nawai menemukan pintu besar dengan pegangan pintu berhias dua kepala kembar. Inin pasti tempat si kembar. Nawai bertemu mereka, mereka identik, semua gerakan yang dilakukannya selalu bersamaan. Nawai paham kenapa mereka bisu, karena mereka tak punya mulut. Salah satu dari mereka menunjukkan buku yang Nawai cari. Nawai memejamkan mata namun cahaya itu ikut masuk. Menunggu. Hanya itu yang Nawai lakukan. Pelan-pelan cahaya itu redup hingga menghilang sama sekali. Nawai memberanikan diri untuk membuka mata dan Nawai sudah berada di tempat kejadian pembunuhan itu. Nawai menyaksikan semuanya, ternyata orang yang menemui Deni adalah dirinya. Tapi dengan suara berbeda, bahkan suara itu berubah menjadi suara anak kecil. Nawai kenal suara itu. Sesekali suaranya berubah menjadi suara laki-laki, apa itu Wilis?
    Saat Satira akan memukul kepala Deni, tiba-tiba Wilis memanggilnya dan berharap Satira jangan melakukannya. Tiba-tiba semua gelap. Wilis tak bias melihat apa-apa. Sedikit demi sedikit cahaya masuk ke mata Wilis. Nawai kembali ke hutan itu. Suasananya terasa lain. Lebih senyap. Nawai lihat dua sosok tergeletak. Nawai berjalan mendekat. Seorang dari mereka bergerak, membuat langkah Nawai terhenti. Itu Wilis. Tangannya menggenggam batu yang berlumuran darah. Wilis terkejut dan mundur ke belakang. “Oh tidak!! Aku membunuhnya! Aku membunuhnya!”
Nawai membuka mata. Sam ada di depanku dan sedikit demi sedikit hutan karet alas luntur, bermetaforsa menjadi ruangan pemeriksaan. Sam tersenyum pada Nawai.
    Hari ini Mala melihat laki-laki pembunuh itu. Tak ada penyesalan dalam matanya. Kata orang dia adalah laki-laki yang tak pernah terjamah hokum. Namun Mala sedang menyiapkan penghukuman untuknya. Rencana ini Mala buat sejak dulu, hanya menunggu waktu yang tepat dan inilah saatnya. Penghukuman itu ada dalam perut Dizzel (boneka beruang Mala). Laki-laki itu keluar. Dia mengambil satu pak rokok dari sakunya. Dia membuka plstik pembungkusnya. Suatu kebetulan yang menyenangkan. Inilah saatnya. Segera Mala berlari ke arahnya,pura-pura menabraknya dan menukar rokok itu dengan cepat. Dia memungut rokok yang telah Mala tukar lalu tersenyum pada Mala.
    Rayhan duduk di balkon vila. Dia memandang rumah Nawai di bawah dengan senyum di bibirnya. Bola mata Rayhan bergerak-gerak. Begitu sepi, pikirnya. Dia menyulut rokoknya,mengisapnya dalam-dalam. Begitu nikmat batinnya. Dia telah menghabiskan empat batng rokok. Entah kenapa rokoknya lain namun lebih nikmat. Kepalanya terasa pening. Dia mengacuhkannya. Kepulan rokok tak pernah berhenti di bibirnya. Beberapa menit kemudian Rayhan megap-megap dan merasa paru-parunya penuh dengan air. Anehnya pening di kepala Tayhan sembuh, dia tak merasakan apapun kecuali satu desahan napas terakhir yang menguapkan kecurigaannya , seseorang telah meletakkan sesuatu pada rokoknya. Sesuatu yang berbahaya. Ironisnya, dia tak akan pernah menyangka jika hari ini adalah hari kematiannya. Tak ada seorangpun yang tahu kecuali seorang gadis kecil yang menghitung waktu dengan gumaman lirih di bibirnya. “Snobel, Lexel, Gazel, Maxel, Rakel, Letsel, Trigel, Bluebel, Wingkel, Twinel …”
***
    Kartika sadar bahwa dia berhubungan dengan sesuatu yang tak bias dijangkaunya. Ini baru permulaan, belumlah menjadi akhir. Lamat-lamat dia mendengar suara anak kecil bergumam di depan ruang kerjanya. Dia beranjak keluar. Di bangku panjang itu Mala duduk dengan tenang sembari menggerak-gerakkan kakinya yang terayun – ayun di udara.
    Mala menoleh pada Kartika sembari tersenyum manis. Kartika membalasnya. Dia tak pernah tahu bahwa itu adalah senyum pertama Mala, karena seumur hidupnya dia tak pernah tersenyum selebar itu.


Dian Budiarti

Hello, I'm Dian and I'm is Casual style lovers.

2 komentar:

Play on

Instagram